Lebaran memiliki beragam makna bagi orang yang merayakannya. Bagi kaum muslim, setelah sebulan penuh ditempa dalam relung peribadatan yang padat, lebaran menjadi titik balik untuk mendapatkan martabat kemanusiaan yang lebih baik. Lebaran juga kerap kali dimaknai sebagai proses reinkarnasi (kelahiran kembali) menuju kesucian jiwa, bak bayi yang dilahirkan dalam keadaan suci dan polos.
Lebaran juga dimaknai sebagi ritus perjumpaan sosial. Banyak orang yang memanfaatkan momentum itu untuk saling berjumpa, berkunjung, dan bersilaturrahim, saling meminta maaf kepada teman dan kerabat. Ritus inilah yang menggerakkan para perantau untuk mudik ke kampung halaman, berjumpa dengan sanak saudara walau harus dilakukan dengan banyak pengorbanan . Makna penting lebaran tersebut menjadikan momentum ini selalu melibatkan kesibukan banyak orang. Mulai dari kesibukan mudik, bikin aneka masakan dan kue, juga kesibukan untuk shopping di pusat perbelanjaan dan “mall”.Setiap membincang tentang mall, otomatis alam pikirku selalu berasosiasi kepada hal-hal yang berbau “kapitalisme”; perputaran uang ke pemodal asing, konsumerisme dan sebagainya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Ramadhan dan lebaran menjadi salah satu lahan basah yang dimanfaatkan betul oleh pusat perbelanjaan (di seluruh dunia) untuk menggenjot omsetnya.
Berbagai diskon dan banting harga dilakukan dengan propaganda besar-besaran untuk menjerat pembeli. Poster bertuliskan “Diskon 50 %!”, “Beli dua dapat satu!”, ” Harga mulai Rp.30.000″ dan sebagainya sering menghiasi stand-stand pakaian berbagai pusat perbelanjaan di Malang seperti Ramayana, Malang Town Square (Matos), Matahari, wa ‘alaa aliihi wa shohbihi ajma’iin.
Memang aneh negeri ini. Di tengah krisis berkepanjangan dan kenaikan harga BBM yang berdampak pada penurunan daya beli, hiruk pikuk penjualan di mall seakan makin ramai saja. Mengapa orang masih suka pergi dan belanja di mall? Mengapa orang tidak membeli barang di pasar yang konon harganya lebih “merakyat”? Nah ini dia yang mau dibahas dalam Ublik kali ini. Bukan untuk mengulas tentang teori kapitalisme yang semakin hari semakin membingungkan, namun lebih pada berbagi pengalaman melelahkan di Pasar Besar Malang di akhir bulan ramadhan lalu.
Beranjak dari keinginan untuk menemani teman berbelanja, untuk pertama kalinya aku mendapat kesempatan masuk ke Pasar Besar Malang berburu gamis berlebaran. Selalu, pusat perbelanjaan seakan menjadi “padang mahsyar’ saat hari-hari menjelang lebaran termasuk pasar. Panas, pengap, bau, melelahkan dan berjubel, begitu kesan yang kurasakan saat itu. Untuk dapat mengakses dan memilih barang yang dicari, kita harus ngantri beberapa saat untuk dilayani.
Sang teman yang kuantar itu nampak lama menemukan gamis lebarannya. Setiap ingin melihat-lihat sesuatu, ia nampak telaten ngantri untuk menawar harga. Terlebih ia selalu lama berdiskusi tentang harga dengan sang penjual. Entah berapa rupiah sebenarnya selisih harga yang ingin dia selamatkan sehingga lebih suka berlama-lama di pasar pengap ini. Padahal, menurutku, di mall atau toko ia akan mendapatkan harga yang pasti sehingga tidak perlu banyak berdebat. Akupun berfikir, apakah benar orang beli pakaian di pasar “diuntungkan” jika harus membuang waktu sekian jam.
Dalam hati aku bersumpah tidak akan lagi pergi ke pasar untuk beli baju, apalagi menjelang lebaran, meskipun hanya untuk mengantar teman. Aku kemudian bisa memahami betul mengapa anak-anak muda gaul malas untuk berburu barang di pasar. Tidak sekedar citra mungkin, namun mereka menghindari “belanja melelahkan” dan malas bernegosiasi karena ketidakpastian harga. Tak heran mengantar istri belanja ke pasar bagi Sutomo, seorang temanku yang lain adalah sebuah keterpaksaan (untuk tidak menyebut sebuah ‘penyiksaan’). Lebih menyakitkan lagi jika “pengorbanan” itu hanya sekedar mengejar selisih 5-10 ribu dari harga di toko. Bahkan menurutku, kalau orang tidak pandai menawar bisa jadi dia dapat barang dengan harga lebih mahal ketika memilih embeli barang di Pasar Besar. Seperti kisah Huri, seorang kawanku yang lain, saat membeli rice cooker di Pasar Besar ternyata harganya lebih mahal jika dibandingkan dengan harga di toko elektronik. Belum lagi waktu dan tenaga karena harus berputar-putar di lorong-lorong yang peruh sesak dengan orang.
Namun, bagi orang yang sudah “berpengalam”, belanja ke pasar besar -seperti seorang kawan yang kuantarkan siang itu- akan menghemat beberapa persen dari anggaran belanja. Sesaat setelah dia mendapatkan “barangnya” dengan harga Rp. 70.000, temanku mengatakan bahwa jika beli koko dengan merek serupa di toko bisa kena rp. 150.000. Fantastis, lebih 100% keuntungannya. Sebuah kebanggaan yang luar biasa mungkin baginya karena berhasil menghemat pengeluaran. Meski aku belum yakin apakah baju koko dengan merek seperti itu harus ditebus dengan harga dua kali lipat saat berbelanja di toko atau mall. Aku enggan membuktikannya, selain males ngurusin begituan, aku juga tidak ingin “menggugat” kebahagiannya.
Mungkin tidak semua orang memiliki kemampuan dan pengalaman seperti dia dalam bertransaksi di pasar. Ini harus kuakui, dan aku salut kepadanya. Tidak banyak anak muda yang kutemui cukup konsisten memilih alternatif berbelanja di pasar. Meskipun kalau disuruh memilih, aku lebih suka belanja di toko yang ada AC-nya, banyak gadis-gadisnya, bersih, tidak bau, dan akses untuk melihat barang-barang lebih mudah tanpa harus meminta izin kepada penjualnya. Antek kapitalisme? Konsumtif? Musuh abadi jamaah pedagang kaki lima (PKL)? Ah, entahlah. Yang penting aku berkesadaran dalam memilih dan membeli barang. Aku hanya akan beli barang yang betul-betul aku butuhkan dan dengan harga yang murah. Tanpa ke pasarpun aku bisa menemukan barang-barang murah dan lebih mempertimbangkan nilai guna daripada merek. Di mall-mal,setahuku juga banyak dijual berbagai pakaian dan komoditas “murahan”.
Membeli pakaian di mall atau toko-toko tidak selalu berarti mendorong arus perputaran uang ke pemilik modal (yang biasanya bercokol di luar negeri) atau penindaasn kepada kaum buruh (rice to buttom?). Melihat semakin banyaknya SPG di mall (dengan gaji minim tentunya, paling 500-700 ribu) maka tidak ada salahnya kita membeli barang di sana. Kalaupun ingin membantu anak-anak SPG itu (yang menurut Marx, termasuk dalam golongan kelas buruh) dengan memberi THR secara langsung atau menghormati keberadaan mereka (juga mengagumi kecantikan mereka tanpa diwujudkan dalam tindakan dan kata-kata yang melecehkan ).
Membeli di pasarpun belum tentu menggugurkan kewajiban untuk “berpihak” kepada masyarakat lemah. Setahuku, para penjual di kios-kios pasar kebanyakan orang-orang kaya juga. Seorang Bapak penjual kain saat kutanya bagaimana omset penjulaannya hari ini. dia menjawab dengan rasa syukur sembari menyatakan bahwa cukuplah buat naik haji bersama dua istrinya dua tahun sekali. Wow dahsyat! Dalam kategori Marx, bapak penjual sekaligus pelayan di kios kain itu ternyata adalah seorang borjuis tulen. Gilee beneer! Andai saja semua orang yang memiliki kios di pasar memiliki pemikiran seperti bapak ini, tidak bisa dibanyangkan berapa trilyun pasar ini telah menyumbang pertumbuhan perekonomian bagi Arab Saudi.
Pasar dan Mall memang berbeda. Memang betul, bahwa ada perbedaan yang mencolok antara harga komoditas pasar yang murah (di kios-kios tertentu) dan harga komuditas super mahal di mall (yang bukan di stand obral murah tentunya). Seorang ibu misalnya dia bercerita bahwa di Pasar Besar itu dia terbiasa membeli beberapa CD (celana dalam) cuma 5000-an. Dia sempat kaget saat berjalan-jalan dengan anaknya di sebuah mall yang dekat dengan kampus. Pasalnya dia baru tahu ternyata ada CD yang harganya mencapai Rp 78.000. Perbedaan harga yang mencolok ini tentu saja perlu direfleksikan. Bagaimana orang bisa “terbiasa” dengan perbedaan harga ini. Bagaimana kesenjangan antara rakyat atas dan rakyat bawah dalam hidup sehari-hari cukup jelas ditampakkan di depan mata, dalam konteks mengkonsumsi CD misalnya? Bebal betul kita ketika melihat fakta ini dengan menganggap wajar-wajar saja.
Ternyata hanya dengan belanja CD sang ibu bisa merefleksikan tantang kesenjangan sosial. Luar biasa. Sebuah refleksi yang menurutku jarang hinggap dalam benak kita. Begitu banyak hal remeh yang seharusnya selalu kita sadari termasuk dalam memberi barang. Bukan masalah kita beli barang dimana. Di pasar maupun di Mall, bagiku sama saja. Namun yang lebih penting dari itu adalah bagaimana kita mengenali, memaknai, dan mengendalikan pola konsumsi kita. Bagaimana pola konsumsi selalu dikontrol agar tidak berdampak pada penindasan terhadap orang-orang kecil baik langsung maupun tidak. Dalam bahasa agama, kesadaran ini maqomnya adh’aaf al iman dalam konteks melawan kapitalisme yang kian menggila dan canggih.(jelajahbudaya.com)
0 Comments