Target MDGs, 5 Tahun Lagi

Janji ambisius (semua negara anggota) PBB hingga 2015, kemiskinan dan kelaparan bakal berakhir, pendidikan dan kesehatan jauh membaik, serta lingkungan hidup yang lestari dan berkurangnya kesenjangan Utara- Selatan, tampaknya masih jauh dari kesampaian.

Ratusan pemimpin dunia dari 200 negara, juga para selebriti seperti Antonio Banderas, penyanyi Craig David dan Anggun, serta pesepak bola Ronaldo, meramaikan pertemuan di New York minggu ini.

Sepuluh tahun telah berlalu sejak dideklarasikan pada 8 September 2000, artinya tersisa lima tahun untuk memenuhi janji tersebut. Untuk sementara,capaian yang dipublikasikan PBB, terlihat positif.

Jumlah penduduk miskin ekstrem dengan penghasilan di bawah USD1,25 per hari misalnya berkurang dari 46 persen (1990) menjadi 27 persen (2005). Sedangkan sekira 84 persen penduduk dunia tercatat telah memiliki akses ke air bersih. Mencermati statistik tersebut, MDGs bisa dibilang telah melampaui berbagai capaian kebijakan dan strategi pembangunan lainnya yang pernah ada.

Termasuk melebihi capaian program “bantuan” tahun 80-an yang bahkan menyebabkan negara-negara yang terlanda krisis utang akhirnya semakin terbenam dalam lumpur utang luar negeri.

MDGs pun bisa dianggap telah melebihi kebijakan neoliberal tahun 90-an berupa program “Pengetatan Struktural” berlandaskan Washington Consensus di mana terjadi “pertukaran utang dalam jumlah besar dengan kedaulatan ekonomi-politik negara berkembang” yang diatur oleh IMF dan Bank Dunia.

Meragukan Kesuksesan

Namun, MDGs belum menjadi kisah sukses. Masih lebih dari 1,2 miliar masyarakat bumi yang hidup dalam kemiskinan ekstrem. Menurut Unicef, empat dari lima anak balita kekurangan gizi, sementara setiap menit seorang ibu meninggal sewaktu melahirkan.

Sedangkan data keberhasilan pengentasan kemiskinan sebagian berdasarkan trik statistik. Acuan pengurangan tingkat kemiskinan adalah data tahun 1990.

Padahal, sejak 90-an China dan India melakukan lompatan jauh dalam upaya pengurangan kemiskinan di dua negara berpenduduk terbesar di dunia ini. Sementara kenyataan di banyak negara lain sebenarnya tidak membaik, bahkan sebagian mengalami pemburukan.

Data lainnya pun belum meyakinkan. Dalam pernyataan persnya pada 2008, PBB menyebut dibandingkan 1990, kematian ibu hamil berkurang sebanyak sepertiga. Padahal, pada 1990, menurut ekonom William Easterly dari New York University kepada Financial Times, belum ada data yang valid tentang hal tersebut.

Sedangkan menurut sebuah studi dari Unicef, meski secara rata-rata kematian anak berkurang, setengah miliar anak masih saja hidup dalam kemiskinan ekstrem yang menutup kesempatan mereka untuk berkembang jauh lebih rendah dibandingkan apa yang disugestikan oleh statistik.

Mereka yang termiskin harus menjadi “perhatian utama” segala upaya, demikian Unicef, “Tanpa itu, MDGs dipastikan gagal.” Marginalisasi negara-negara miskin dalam proses globalisasi tidak hanya bertentangan dengan nilai-nilai dasar MDGs yang dideklarasikan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan pada 8 September 2000, tapi juga menjadikan semua upaya “bantuan pembangunan” dari negara-negara kaya tanpa makna dan hasil yang diinginkan.

Menurut perhitungan PBB, negara-negara berkembang setiap tahun mengalami kerugian sebesar USD700 miliar akibat aturan perdagangan dunia yang merugikan. Jumlah tersebut enam kali lebih besar dibandingkan bantuan pembangunan yang diterima dari negara-negara kaya.

”Global Mega-Promises”, demikian julukan yang diberikan oleh David Hulme dari Manchester University tentang MDGs.Namun,bila negara-negara mempertahankan kebijakan pembangunan seperti sebelumnya, MDGs tidak akan tercapai pada 2015, termasuk pada tahun-tahun setelah itu.

“Telah terjadi ketimpangan perkembangan MDGs di antara sejumlah negara,” kata Sekjen PBB Ban Ki-Moon (13/9). Terlalu sering terjadi, lanjut Ban, para pengelola ekonomi dunia mengabaikan mereka yang miskin dan rentan.Dana yang kita perlukan, sekalipun kecil, tetap belum tersedia.

“Masalah ini dipersulit pula oleh krisis ekonomi,” lanjutnya. Terkait pendanaan, Ban mengatakan, diperlukan USD100 miliar dalam lima tahun mendatang.

Dana tersebut diperlukan khusus untuk penurunan angka kemiskinan dan peningkatan derajat kesehatan. Sekira USD26 miliar, demikian Ban, amat diperlukan untuk membantu 49 negara termiskin di dunia pada 2011.

Menanggapi KTT New York ini, sejumlah kalangan dan berbagai lembaga bantuan bersikap skeptis dengan peluang pencapaian target MDGs. Banyak bahasa yang bagus dalam dokumen ini tentang promosi pembangunan di negara-negara miskin.

Akan tetapi, hal yang memalukan adalah,hanya sedikit aksi dari para pemimpin negara untuk benar-benar mencapai target MDGs itu. “Dengan waktu yang hanya tersisa lima tahun, keadaan seperti ini tidak baik,” kata Juru Bicara Oxfam, Emma Seery. Krisis ekonomi global sejak 2008 menambah persoalan.

Setidaknya 100 juta penduduk dunia kembali terjerembab dalam kemiskinan sehingga menambah warga miskin global yang tadinya hanya 1,2 miliar jiwa. Mayoritas warga miskin atau sepertiga dari total penduduk miskin global berada di Asia. Selebihnya di Afrika, Amerika Latin, serta Eropa Timur dan Selatan.

MDGs Indonesia Butuh Keberpihakan

Bagaimana dengan Indonesia? Berbagai tantangan masih dihadapi bangsa Indonesia dalam upaya pencapaian MDGs. Salah satunya adalah kesenjangan antarwilayah dan kelompok termasuk kelompok marginal yang perlu diatasi.

Kebijakan dan sumber daya yang dibutuhkan untuk mengatasi kemiskinan dan kondisi kesehatan, terutama di bagian timur Indonesia, perdesaan, dan kota-kota besar.

Dalam lima tahun terakhir di tengah kondisi negara yang belum sepenuhnya pulih dari krisis ekonomi 1997/1998 dan tantangan global yang makin sulit. Seperti gejolak harga minyak, meroketnya harga pangan, serta (kembali) terjadinya krisis keuangan global 2007/2008 yang menyebabkan resesi ekonomi dunia dan sedikit banyak telah berpengaruh pula terhadap kinerja perekonomian dalam negeri.

Tingkat pertumbuhan hanya empat sampai lima persen dibandingkan enam persen sebelum krisis. Begitu pula dengan kenaikan harga pangan yang menjadi pengeluaran rumah tangga terbesar di kelompok masyarakat menengah bawah.

Dalam kurun waktu lima tahun mendatang hingga 2015, tantangan pembangunan tidaklah semakin ringan. Terkait pengurangan kemiskinan, hal tersebut tidak sepenuhnya dapat mengandalkan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memerlukan berbagai intervensi yang efektif.

Sementara pertumbuhan ekonomi harus mengikutsertakan sebanyak mungkin penduduk Indonesia (inclusive growth). Pola pertumbuhan yang inklusif ini memerlukan intervensi pemerintah yang memihak (affirmative) kepada kelompok yang terpinggirkan untuk memastikan mereka memiliki kapasitas yang memadai dan akses yang sama terhadap kesempatan yang muncul. Tanpa itu,pencapaian MDGs menjadi sesuatu yang nyaris mustahil di negeri ini. (*)

Ivan A Hadar
Koordinator Nasional Target MDGs,

Post a Comment

0 Comments